“Pecuma duduk-duduk saja di rumah, lebih baik kamu bekerja, dapat upah. Dari pada menganggur seperti ini, tidak ada manfaatnya. Bekerjalah!! Supaya kamu buktikan sama ayahnya, kalau kamu dapat melamar anaknya tanpa meminta uang sama orang tuamu.” Nasehat bibinya ketika ia hendak menuju ruang makan untuk sarapan pagi. Nasehat itu sudah kesekian kalinya dilontarkan dari mulut bibinya, namun baginya, itu hanyalah angin berlalu.
***
Sudah dua tahun ia menganggur, ijazah terakhir hanyalah tamatan SMA. Belakangan ini calon ayah mertua melarang ia untuk berkujung kerumahnya, sebelum anaknya dinikahi maka ia dilarang untuk berkunjung. Itu adalah keputusan yang sangat matang dari calon ayah mertuanya, sebab ia telah membuat calon ayah mertuanya malu dengan tetangga karena mukanya yang bolak-balik tiap hari dirumahnya sehingga membuat calon ayah mertuanya geram dan merasa dipermalukan.
“Rudi sebelum kamu menikahi anak saya, sebaiknya kamu jangan ke sini dulu? Sebenarnya saya sudah tidak suka karena sebelum kamu dan anak saya yang dicatat dosanya, duluan saya yang dicatat dosanya" kata ayah mertuanya dengan matanya sedikit agak melotot. "Selain itu juga, saya juga tidak enak sama tetangga saya mereka mungkin juga ikutan berdosa. Dulu ia ketika kalian masih sekolahan, saya kasih kamu pergi kesini karena untuk belajar dan anak saya juga tidak akan suntuk karena ada teman dirumah. Nah sekarang apa. Saya kasih kalian duduk berdua. Nanti saya kasih alasan apa sama tetangga? Apalagi nanti di alam kubur kalau malaikat menanyakan tentang ini saya kasih jawaban apa, kan bingung, apalagi kamu ngak kuliah. Kerjapun enggak!.” Mendengarkan cemeoh yang keluar dari mulut calon ayah mertuanya yang panjang lebar kali tinggi tersebut, ia hanya bisa mengangguk-ngangguk kepalanya tanpa ada bantahan sedikitpun. Cemeoh itulah yang sangat melekat diingatanya ketika terakhir kali ia berkunjung dari rumah calon ayah mertuanya dan sampai sekarang ia tidak pernah berani lagi datang ke rumah kekasihnya. Palingan iya hanya bisa teloponan dengan kekasihnya untuk melepaskan rindunya. Itupun kalau mereka memiliki pulsa.
“Rudi sebelum kamu menikahi anak saya, sebaiknya kamu jangan ke sini dulu? Sebenarnya saya sudah tidak suka karena sebelum kamu dan anak saya yang dicatat dosanya, duluan saya yang dicatat dosanya" kata ayah mertuanya dengan matanya sedikit agak melotot. "Selain itu juga, saya juga tidak enak sama tetangga saya mereka mungkin juga ikutan berdosa. Dulu ia ketika kalian masih sekolahan, saya kasih kamu pergi kesini karena untuk belajar dan anak saya juga tidak akan suntuk karena ada teman dirumah. Nah sekarang apa. Saya kasih kalian duduk berdua. Nanti saya kasih alasan apa sama tetangga? Apalagi nanti di alam kubur kalau malaikat menanyakan tentang ini saya kasih jawaban apa, kan bingung, apalagi kamu ngak kuliah. Kerjapun enggak!.” Mendengarkan cemeoh yang keluar dari mulut calon ayah mertuanya yang panjang lebar kali tinggi tersebut, ia hanya bisa mengangguk-ngangguk kepalanya tanpa ada bantahan sedikitpun. Cemeoh itulah yang sangat melekat diingatanya ketika terakhir kali ia berkunjung dari rumah calon ayah mertuanya dan sampai sekarang ia tidak pernah berani lagi datang ke rumah kekasihnya. Palingan iya hanya bisa teloponan dengan kekasihnya untuk melepaskan rindunya. Itupun kalau mereka memiliki pulsa.
***
“Rudi jangan melamun kamu pagi-pagi begini?” tanya herdi pensaran yang datang secara tiba-tiba. “Ah Herdi buat saya terkejut saja. Kamu datang kok ngak bilang-bilang sih. Emang ada perlu apa sih?” cetusnya dengan kesal. “Ngak ada apa-apa sih, eh ngomong-ngomong kamu kenapa melamun? Coba kamu ceritakan sama saya? Apa ada masalah atau gimana hah?” tanya Herdi dengan sikap yang perhatiannya. Namun ia masih duduk termenung dikursi rotan yang ada diteras rumah bibinya seolah-olah tak mendengar pertanyaan dari adik sepupunya itu. Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut Herdi namun tak dihiraukannya. Hari sudah menunjukkannya jam tujuh pagi, matanya sudah berlinang air mata, tapi keputusannya kini sudah bulat. Demi untuk menikahi anak pak Marwan, Fatimah yang cantik rupa ia sudah siap untuk membanting tulang. Ia siap. Ia akan terima resikonya.
Pagi itu juga, Rudi menahan bibinya yang hendak pergi ke pasar untuk berjualan “Bik, tunggu sebentar, saya akan merantau hari ini.” Mata bibinya membesar dan mulutnya menganga lebar, hampir-hampir tidak percaya dengan pendengarannya. Entah sudah berapa kali dia merengek meminta ia untuk bekerja ke negeri orang.
“Bibi ingin sekali kamu merantau seperti anak-anak pengangguran lainnya. Saya sudah sangat banyak mendengarkan tentang cerita merantau mereka hingga sekarang mereka sudah sukses. Ketika meraka pulang dari rantau mereka sudah bisa membuka usaha sendiri sehingga bisa membuka lapangan kerja bagi generasi mendatang dan cukup juga buat menikah” cerita bibnya dengan terharu. Sepanjang hidupnya, ia belum pernah melihat saudara-saudaranya merantau sehingga mereka hidup seperti biasa-biasa saja. Penyebabnya adalah orang tuanya yang tidak pernah mengizinkan mereka untuk merantau karena orang tua mereka terlalu mengingat pepetah jaman dulu “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang”. Namun lambat laun jaman sudah berubah, dulu untuk menikah hanya membutuhkan seperangkat alat shalat namun sekarang dibutuhkan emas untuk membayar mahar pernikahan.
“Bibi ingin sekali kamu merantau seperti anak-anak pengangguran lainnya. Saya sudah sangat banyak mendengarkan tentang cerita merantau mereka hingga sekarang mereka sudah sukses. Ketika meraka pulang dari rantau mereka sudah bisa membuka usaha sendiri sehingga bisa membuka lapangan kerja bagi generasi mendatang dan cukup juga buat menikah” cerita bibnya dengan terharu. Sepanjang hidupnya, ia belum pernah melihat saudara-saudaranya merantau sehingga mereka hidup seperti biasa-biasa saja. Penyebabnya adalah orang tuanya yang tidak pernah mengizinkan mereka untuk merantau karena orang tua mereka terlalu mengingat pepetah jaman dulu “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang”. Namun lambat laun jaman sudah berubah, dulu untuk menikah hanya membutuhkan seperangkat alat shalat namun sekarang dibutuhkan emas untuk membayar mahar pernikahan.
Kini tanpa diminta, keponakannya malah meminta izin kepadanya untuk pergi merantau ke Malaysia yang terkenal dengan ringgitnya. Bibinya jelas sekali memberikan ia izin dan akan memberitahukan kepada orang tuanya belakangan. Ia bertambah besar hati karena mendengar penjalansan keponakannya bahwa ia akan merantau untuk cita-cita yang sangat mulia. Namun ia terpaksa harus pergi sendiri karena anak disamping rumahnya yang baru tamatan SMA menolak untuk ikut merantau dengannya. Dia punya seribu satu alasan. Tidak enak jauh dari keluarga, baru saja tamatan sekolah belum beristirahat pokoknya ia punya banyak alasan untuk menolaknya. Dengan suka cita Rudi menjejalkan pakaiannya, musolla dan beberapa buku alamat-alamat teman-temannya yang berada di johar ia masukkan kedalam tas besar yang akan dimasukkan kedalam begasi pesawat. Adapun barangnya yang paling berharga yaitu paspornya dimasukkan ke dalam saku celananya beserta dengan dompetnya.
Dengan menggunakan grab ia menuju bandara Kuala Namu ditemani oleh bibi dan tentunya sang kekasih juga ikut menemaninya. Tentunya tanpa sepengetahuan calon mertuanya. Ia tidak banyak bicara, hanyalah air mata yang berlinang dari hati kekasihnya. Yang akan menunggu kapan ia akan kembali dan melamarnya. Apakah ia akan duluan dijodohkan dengan orang lain oleh orang tuanya. Atau kekasihnyalah yang akan melamarnya. Hatinya melonjak-lonjak ketika kali pertama memasuki perut pesawat. Dia melihat senyum-senyum cemerlang para awak pesawat ke arahnya saat menyambutnya di pintu, ia bagaikan seorang raja. Belum lagi dia duduk sempurna, datang pula sebuah talam dengan kata silakan dari seorang pramugari. Sambil menguyah nasi goreng, Rudi tak lepas-lepas memandang ke luar jendela, mengawasi kota Medan dari udara sebelum pesawat menyelusup kedalam awan. 2 wanita terlihat dengan teropongnya melambai-lambaikan tangan kearahnya. Seolah-olah membuat salam perpisahan dengannya.
***Interval
Sekitaran empat puluh lima menit akhirnya pesawat mendarat dibandara Bukit Jalil, Malaysia. Ini pertama kalinya ia pergi merantau ke negeri orang, ia juga tidak memiliki seorangpun sanak family untuk dihubungi. Namun sebelum berangkat, ia sudah duluan mengkonfirmasi teman semasa SDnya.
Dengan mendaratkan kaki kanannya yang pertama kali tak lupa juga membaca Basmallah. Lalu ia mengangkatkan tangannya dan menundukkan kepalanya kebawah lalu berdo’alah ia kepada Allah.
“Ya allah lindungilah aku dari segala marabahya, kuatkan imanku, luaskanlah rezeki yang halal kepadaku, dan mudahkanlah segala urusanku… Amin” air matanya menetes, pikirannya terbawa-bawa kemana-mana. Ia ingat betul dengan kata-kata calon mertuanya. Dengan segala visi dan misinya ia tegarkan perasaannya. Lalu melangkah keluarlah ia dari bandara, setibanya diluar ia telah disambut oleh teman semasa SDnya yaitu Andi. Yang dulu dikenal begitu malas oleh guru-guru tapi begitu baik, sekarang ia sudah bebeda. Ia sudah bahagia di negeri tetangga. Namun ia masih percaya dengan kata-kata pepatah yang diajarkan semasa SD dulu”lebih baik hujan batu dinegeri sendiri daripada hujan emas dinegeri orang” namun ia kesini bukan untuk mendapatkan emas akan tetapi untuk menghilangkan kehinaan. Selain bibi ia juga termasuk yang memotivasi Rudi untuk berangkat merantau. Sebab dengan nasehatnyalah Rudi berangkat kesini. Sebelumnya Rudi memabagikan bagaimana perasaannya setelah tamat SMA. Lalu Andi memberikan nasehat kepadanya. “ Rudi bekerja itu harus. Karena kemisikinan penyebabnya malas. Miskin itu hina. Bekerja itu menghilangkan kehinaan. Dari pada kamu malas-malas kamu mainlah ketempatku. Nanti jika kamu suka, kamu bisa kerja disini.” Begitulah nasehat dan ajakan Andi yang sangat ia ingat saat tahun-tahun pertama ia nganggur.
“Ya allah lindungilah aku dari segala marabahya, kuatkan imanku, luaskanlah rezeki yang halal kepadaku, dan mudahkanlah segala urusanku… Amin” air matanya menetes, pikirannya terbawa-bawa kemana-mana. Ia ingat betul dengan kata-kata calon mertuanya. Dengan segala visi dan misinya ia tegarkan perasaannya. Lalu melangkah keluarlah ia dari bandara, setibanya diluar ia telah disambut oleh teman semasa SDnya yaitu Andi. Yang dulu dikenal begitu malas oleh guru-guru tapi begitu baik, sekarang ia sudah bebeda. Ia sudah bahagia di negeri tetangga. Namun ia masih percaya dengan kata-kata pepatah yang diajarkan semasa SD dulu”lebih baik hujan batu dinegeri sendiri daripada hujan emas dinegeri orang” namun ia kesini bukan untuk mendapatkan emas akan tetapi untuk menghilangkan kehinaan. Selain bibi ia juga termasuk yang memotivasi Rudi untuk berangkat merantau. Sebab dengan nasehatnyalah Rudi berangkat kesini. Sebelumnya Rudi memabagikan bagaimana perasaannya setelah tamat SMA. Lalu Andi memberikan nasehat kepadanya. “ Rudi bekerja itu harus. Karena kemisikinan penyebabnya malas. Miskin itu hina. Bekerja itu menghilangkan kehinaan. Dari pada kamu malas-malas kamu mainlah ketempatku. Nanti jika kamu suka, kamu bisa kerja disini.” Begitulah nasehat dan ajakan Andi yang sangat ia ingat saat tahun-tahun pertama ia nganggur.
Dengan menggunakan mobil milik tokenya Andi, ia menuju ke kosannya Andi. Setelah menanyakan beberapa pertanyaan mengenai perasaannya, Andi mengucapkan selamat datang kepada Rudi dengan perasaan super bahagianya.
0 komentar: